HIJAB IS MY WAY
HIJAB IS MY WAY
Segala puji
hanya bagi Allah SWT, Allah yang maha mengetahui segala urusan hambaNya, yang
senantiasa memberikan rahmat, taufiq serta hidayah kepada kita semua, Sholawat
serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan nabi agung kita Muhammad
SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman,
semoga kita semua termasuk kedalamnya. Aamiin...
Sebelumnya saya
akan memperkenalkan diri, nama saya Fina Norfila sekarang saya masih duduk
dibangku kuliah jurusan Teknik Informatika di universitas swasta di semarang
cerita pendek ini berkisah tentang kisah nyata kehidupan saya tentang pilihan
hidup untuk menggunakan jilbab. Nah di bawah ini cerita saya
Alkisah 19 tahun
silam, aku lahir di keluarga dan masyarakat yang religius islam, pendidikan formalku
dari SD-SMA selalu pada sekolah negri sehingga orang tuaku mengimbanginya
dengan mengikutkanku pada madrasah sore dan pada malam harinya aku belajar
tadarus di rumah tetangga, walau selalu berada 3 besar peringkat madrasah sore
tetapi aku hanya menggunakan jilbab ketika waktu tertentu saja setelah itu dengan
bangganya aku memperlihatkan aurat kepada orang-orang yang bukan mahramku. ketika
duduk di tingkat 2 SMP, kakakku ingin
memberikan uang untuk membeli satu set seragam tertutup+jilbab, entah syaiton
apa yang membisikku atau keterlenaanku terhadap dunia, aku dengan entheng
menolaknya dengan alasan ”Besok-besok aja ketika lanjut SMA, nanggung
seragamnya yang pendek”(iya kalau umurnya sampai SMA kalau tidak?toeng-toeng).
Pengetahuan agama yang ku miliki tak lantas membuat saya tersadar akan langkah
hidupku yang tak menuruti peraturan Tuhanku, Allah yang sudah mengamanahkan sepasang
mata, hidung, mulut dan keluarga yang semuanya bisa dibilang sempurna bahkan
nikmat itu tak bisa dihitung dengan angka verbal maupun nominal.
Seiring
berjalannya waktu, aku menginjak SMA dan lagi-lagi aku dihadapkan dengan kenyataan
yang harus ku pilih, pada tangan mungilku terdapat beberapa potong kain yang
diberikan sekolah untuk di jahit sendiri sesuai ukuran, setelah mondar-mandir akhirnya
aku terduduk lesu di depan rumah sambil berkicau ”Akan ku apa kan kain-kain
ini?” dalam hati kacau aku bertanya pada rerumputan yang seolah-olah ingin
menjawab kegundahan hati ku, ”Haruskah ku jahit menjadi seragam panjang berjilbab?
Atau pendek? Apakah aku sudah siap berjilbab?
Bagaimana kalau dengan berjilbab jadi jelek?(gak berjilbab juga
jelek,hehe).Bagaimana kalau naik motor kelak?Ribet gak ya?(Belum dicoba udah
bilang ribet L)Bagaimana kalau terasa panas?(Panas mana
sama api neraka J)” Semua pertanyaanku hanya terbawa angin,
setelah saya mintai pendapat keluarga besarku, mereka menyarankan ini
kesempatan baik untuk memulai berjilbab, tetapi semua keputusan ada padaku toh
yang menjalankan aku sendiri. Dan akhirnya apa yang saya pilih? Ak memutuskan
untuk menunda kewajiban berjilbab, aku masih enggan dan belum ada niatan
menggunakan penutup mahkota para keturunan hawa itu. Entah syaiton atau
kesilauanku akan dunia, dengan alasan pertanyaan diatas saya menahan kewajban
untuk berjilbab.